oleh Taufik Nurrohim S.Psi | Anggota DPRD Jawa Barat
Penurunan laba bersih Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Jawa Barat menjadi ironi yang sulit diabaikan. Sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi daerah sekaligus kontributor utama Pendapatan Asli Daerah (PAD), BUMD semestinya mencerminkan efisiensi dan profesionalisme. Namun, fakta berbicara lain: pada 2023, laba bersih BUMD Jawa Barat justru anjlok 25,18% dibandingkan tahun sebelumnya.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi sebuah cerminan dari masalah mendasar yang perlu segera diatasi. Peningkatan pendapatan usaha sebesar 6,75% dari Rp21,1 triliun menjadi Rp22,5 triliun ternyata tidak cukup untuk menutupi lonjakan biaya usaha sebesar 13,11%. Akibatnya, laba usaha turun drastis dari Rp3,5 triliun menjadi Rp2,6 triliun. Ini menunjukkan adanya inefisiensi operasional yang mendesak untuk diperbaiki.
Lebih parah lagi, tata kelola yang belum maksimal dan beban utang yang menggunung semakin memperburuk kinerja BUMD. Sebagai contoh, PT BIJB mencatat kerugian Rp141,73 miliar karena beban utang pembangunan bandara yang mencapai Rp2 triliun. Sementara itu, PT Agro Jabar dan PT Agronesia tidak dapat memberikan dividen karena terus merugi. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya perencanaan strategis dan pengelolaan bisnis di sejumlah BUMD.
Kritik atas Pengelolaan dan Kebijakan
Pertama, restrukturisasi bisnis yang selama ini diwacanakan, seperti merger BPR dan holdingisasi BUMD energi, berjalan terlalu lambat. Padahal, langkah ini adalah kunci untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Kebijakan ini perlu segera direalisasikan dengan target pencapaian yang jelas sesuai prinsip economies of scale.
Kedua, tata kelola BUMD masih jauh dari ideal. Kampanye Good Corporate Governance (GCG) sering kali hanya menjadi formalitas tanpa tindak lanjut nyata. Evaluasi tata kelola harus diperkuat dengan audit independen dan sanksi tegas bagi manajemen yang gagal mencapai target. Integrasi sistem pengawasan digital juga diperlukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Ketiga, minimnya inovasi dalam diversifikasi bisnis menjadi salah satu kelemahan utama. Potensi sektor energi terbarukan, misalnya, masih belum digarap secara maksimal. Manajemen harus berani mengambil langkah strategis berbasis teori disruptive innovation untuk menciptakan model bisnis yang relevan dengan kebutuhan pasar masa depan.
Terakhir, pengelolaan utang yang buruk menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan operasional. Restrukturisasi utang sering kali dilakukan tanpa perencanaan matang, sehingga tidak memberikan solusi jangka panjang. Negosiasi ulang dengan kreditur dan eksplorasi pendanaan alternatif seperti obligasi daerah bisa menjadi solusi untuk mengurangi beban utang.
Harapan bagi Masa Depan BUMD Jawa Barat
Reformasi BUMD bukan lagi opsi, melainkan keharusan. Pemerintah dan manajemen BUMD harus segera berbenah untuk meningkatkan kontribusi terhadap PAD, menerapkan tata kelola yang profesional, dan mendorong inovasi serta diversifikasi bisnis.
BUMD juga harus mampu memberikan dampak sosial yang nyata, seperti menciptakan lapangan kerja dan mendukung UMKM, sambil memastikan kemandirian finansial tanpa bergantung pada suntikan modal pemerintah.
Sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Komisi III, saya mendesak semua pihak untuk bergerak cepat dan strategis. BUMD adalah aset strategis daerah yang harus dikelola dengan visi jangka panjang dan berbasis data. Hanya dengan reformasi mendalam, BUMD dapat kembali menjadi motor penggerak pembangunan yang berkontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat Jawa Barat.
Leave a Reply